Sebuah Jejak Pendakian – Terima Kasih Merbabu [Part 2]
.................. “Cuk, nek ra kuat mudun wae, aku wes tau munggah dadi ra masalah” gerutu Hanif.
(Kalau udah ngga kuat mending turun aja, aku udah pernah ke
atas jadi ngga masalah)
“Mesakne Riza sing durung pernah mrene nif” saut Afif.
(Kasian Riza yang belum pernah ke sini nif)
Seperti yang aku pernah sampaikan
di tulisan sebelumnya, mendaki gunung itu bisa nunjukin sifat asli kita. Di
kondisi yang ngga nyaman, kita akan mudah bereaksi secara alami dengan menunjukan
wajah asli yang kita punya. Karena memang manusia itu unik, spesies kita diciptaan
Tuhan secara khusus memiliki banyak sekali wajah. Siapa pun kita, dari mana pun
kita berasal pasti memiliki lebih dari tiga wajah. Tapi, dari sekian banyak
wajah itu hanya ada satu yang asli, yang hanya akan kita tunjukan kepada seseorang
yang sangat kita percaya atau kepada seseorang yang bersama kita dalam melalui
kondisi yang penuh tekanan dan serba ngga nyaman. Begitu pun aku, di pendakian
ini aku memang sangat ambisius dalam mencapai tujuan yaitu puncak merbabu. Tapi
di sisi lain, aku sering kali menggerutu karena perjalanannya sangat panjang
dan melelahkan walaupun sebenarnya itu hanya caraku melepas lelah, bukan
mengeluh. Hanif rupanya salah paham padaku, aku seakan bisa meraba pikirannya
dan dalam pikirannya itu dia seakan ingin mengumpatku dengan julukan “tukang
ngeluh” di sepanjang perjalanan menuju puncak.
Dari pos 3 sampai ke puncak
triangulasi, Hanif hanya diam dan seperti ngga lagi memperdulikan kami yang ada
jauh di belakangnya. Aku pun terpancing kesal dan entah kenapa seperti ada
energi lain yang masuk ke dalam tubuh, aku tiba-tiba bisa bergerak sangat cepat
hingga jarak aku dan Hanif tinggal 5 meter saja. Ketika hampir sampai puncak
kenteng songo, Hanif tiba-tiba mempersilahkan aku ke puncak lebih dulu. Aku
heran dong, bukannya dia lagi marah ya.
“Disik o za, aku nunggu cah-cah”
kata Hanif.
(Duluan aja za, aku nunggu yang
lain)
Ternyata aku pun salah paham,
rupanya apa yang aku pikirkan salah. Aku sempat mikir kalau Hanif itu leader
yang buruk, tapi ternyata dia sangat peduli anggotanya. Sambil duduk-duduk
menikmati pemandangan yang masyallah luar
biasa indah ini, kami minum minuman soda yang Hanif bawa, dan aku sempatkan
meminta maaf langsung ke Hanif karena aku jadi beban di timnya juga karena aku udah
mikir yang macem-macem soal dia.
“Yowes, jenenge wae menungso
mesti gawe salah, podo-podo aku yo ngono kok” ucap Hanif.
(Yasudah, namanya juga manusia
pasti buat salah, sama-sama aku juga gitu kok)
Aku
sangat besyukur dengan pendakian ini kita jadi lebih tahu sifat asli rekan
kita, teman kita. Tidak sebatas tahu, kita juga jadi lebih memahami satu sama
lain. Aku juga sangat bersyukur punya teman seperti Dinta yang selama pendakian
sangat setia menemani aku yang kelelahan, dia ngga pernah jalan di depanku apalagi
meninggalkan walaupun udah sangat jauh tertinggal. Ngga lupa, kalau bukan karena
Afif yang membujuk Hanif untuk terus naik ke puncak, kami ngga akan sampai
puncak karena melihat kondisiku yang menyedihkan haha.
Akhirnya kami bisa berfoto
bersama di atas sana. Untungnya kami foto di waktu yang tepat, telat 1 menit
aja background pemandangan udah
ketutup awan. Tapi sebelum itu alhamdulillah
aku sempat mengabadikan beberapa fotoku sendiri, ini dia hehe.
Wajah dengan senyum penuh kepuasan dengan lelah yang dipendam dalam-dalam haha. Aku ngga pernah merasakan perasaan sebahagia ini. Serius! :D
Aha! ini dia foto yang aku janjiin, penampakan gunung merapi
dari puncak merbabu. Indah banget kan?
Ini juga penampakan gunung merapi,
gagah banget ya? foto ini diambil bukan dari puncak merbabu, tapi posisinya
tepat di atas bukit di perjalanan menuju sabana 1. Uniknya selain merapi, tenda
kami juga kelihatan jelas dari atas sini haha.
Nah, kalau ini sabana 1, banyak
juga yang camp di sini. Sedangkan
sabana 2 ada di balik bukit depan itu. Keren kan sabananya? Namanya juga sabana
jadi ngga ada pohon yang tinggi-tinggi ya di sini, adanya rumput sama
edelweiss.
Di belakang ada Afif sama Dinta
lagi nulis salam, ngga tau tuh buat siapa hehe.
Setelah
puas kami beranjak turun ke pos 3 untuk berkemas dan kembali ke basecamp. Perjalanan
turun kami tempuh dengan cepat. Kira-kira dari pos 3 kami turun jam 13.00 WIB,
sampai di basecamp jam 16.00 WIB. Sampai di basecamp kami bersih-bersih, makan,
dan sholat di sana. Setelah badan bertenaga lagi, kami langsung tancap gas
pulang ke Jogja. Ah, bener-bener pengalaman yang luar biasa. Sejak saat itu,
gunung jadi candu buatku.
Dari pendakian ini aku belajar
hal yang baru. Mendaki ternyata bukan hanya soal puncak, tapi lebih dari itu.
Mendaki menurutku adalah sebuah perjalanan, bukan tujuan. Seperti halnya kehidupan
yang kita alami, banyak sekali cita-cita yang ingin kita gapai. Tapi jangan
sampai kita terlalu fokus pada cita-cita, lalu melupakan makna perjalanan.
Perjalananlah yang akan memberi makna setiap pencapaian yang kita dapatkan.
Kenapa setelah sekian tahun aku
baru menuliskannya? aku teringat wejangan penulis maestro Indonesia Pak Pram
(Pramoedya Ananta Toer),
Semua harus ditulis, apapun. Jangan takut tidak dibaca atau tidak diterima. Yang penting tulis, tulis, dan tulus. Suatu saat pasti berguna.
Selain itu, karena aku menyadari
bahwa manusia adalah makhluk pelupa. Aku takut kalau tidak cepat menuliskannya,
memori itu akan kabur dan hilang tak berbekas. Menurutku itu bentuk kerugian
yang paling besar di kehidupan manusia, melupakan kenangan yang membahagiakannya.
Mari merawat ingatan! hehe
Semoga pengalaman mendaki
pertamaku ini mampu membayar rasa penasaran kalian tentang pendakian. Tapi aku
yakin itu belum cukup, sampai benar-benar mencobanya sendiri. :)
Di kesempatan mendatang aku juga akan ceritain pengalaman mendaki gunung ciremai dan lawu, stay tuned! :D






Posting Komentar